Jadi ya bersabarlah..

Bonjour 🙂

Banyak banget sarang laba-laba ya ini blog udah berapa ratus tahun sih nggak ditengokin? *masih pagi sih, ngelaba aja hehe..

So, langsung straight to the topic ya. Jadi ceritanya, perusahaan tempat saya kerja sekarang, which is PT PP Properti-subsidiary of PT PP (Persero) Tbk, sedang bergemuruh! Harus banget pakai kata super hiperbolis untuk menggambarkan seperti apa sih suasana dan hiruk pikuknya orang-orang di Perusahaan ini mempersiapkan IPO sebaik dan seperfect mungkin.

Jujur, IPO merupakan suatu langkah besar korporasi untuk melangkah maju bersaing dengan kompetitor. Baru setahun dipisah (spin off) dari awal mulanya Divisi Properti hingga menjadi entitas perusahaan sendiri, kami pun diberikan tantangan yang luar biasa hebohnya dari pemegang saham, yaitu melaksanakan penawaran umum perdana saham kepada publik. Mateng lah!

Baik. Ini memang menantang, sangat menantang. Apalagi melihat figur pemimpin utama di PP Properti yang mindset nya memang ‘Jobs oriented’. Sudah sangat tepat bahwa keberlangsungan anak perusahaan yang masih piyik ini diserahkan kepada beliau.

Positif memang. Tapi ada beberapa hal, terutama untuk HR materials, yang jujur saja banyak terhambat karena adanya situasi dahsyat ini. Tahun 2015 ini, kami punya program yang namanya pengembangan sistem HR (umumnya disebut HRIS atau kepanjangan dari Human Resource Information System). Disini saya tidak akan menceritakan proses mendasar dari munculnya program ini, tapi yang jelas BK biaya tak langsung yang harusnya dibayarkan kepada vendor menjadi serba tersendat dikarenakan salah satu direksi belum bersedia menda tanganinya dengan dalih a b c d e dll. Saya nggak mau tinggal diam dong, saya harus gercep (re: gerak cepat) untuk menjelaskan kepada beliau secara data. Tapi my oh my…gercep ternyata tidak bisa serta merta didefinisikan sebagai high quality initiative seorang karyawan. Hiks hiks!

Saya harus cermat memilih waktu yang baik untuk mengajak beliau satu ini berdiskusi. Namun sayangnya, saya harus berlapang dada untuk menerima bahwa definisi waktu yang baik menurut sebagian orang-orang adalah “Mba Rahmi, sebaiknya didiskusikan lagi dengan Bapak setelah IPO deh. Hari ini Bapak sedang ‘naik'”.

Hal ini selama jangka waktu sebulan (sepertinya malah lebih) selalu menggantung di hati saya. Karena HRIS besutan kami ini taruhannya adalah puluhan karyawan KKWT kami dan karyawan organik PP Properti yang kedepannya bakal gak punya NRP. Belum juga nanti efek ke tim HR yang akan bikin payroll serba manual. Kalau ini sampai terjadi, sepertinya kudu mengurungkan niat nambah anak nih. Hahahaha :”))))

Mana bisa cuti melahirkan dengan tentram dan bermakna kalau payrollnya masih mengandalkan daya ingat dan otot-otot manusia? *pengen ketawa lebih ngakak lagi

Sejak saat itulah, tepatnya sejak program kami jadi menggantung tanpa kejelasan, saya perlahan-lahan mulai merasakan tanda-tanda kejenuhan. Saya merasa sedemikian lelah, disamping tetap harus di-push untuk fokus juga ke berbagai kegiatan ekskul seperti kepanitiaan public expose, kepanitiaan acara pernikahan anak dari salah satu Direktur saya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya jadi agak ‘meleng’ ketika dihadapkan pada situasi ini. Saya kembali menoleh kepada bisnis lawas saya yang sudah setahun ini nggak tersentuh. Saya mulai mencari kembali kepingan visi hidup saya yang sudah terpencar entah dimana. Disini saya menata kembali ‘the future of eclectiQue’ dengan sudut pandang revolusioner persis seperti cara berpikir Bapak Galih Prahananto, Dirut saya.

Input, proses, dan output saya rancang satu per satu. Pelan-pelan. Sampai pada akhirnya, saya tersadar bahwa membangun sesuatu sampai menjadi besar pada akhirnya harus dipelajari di tempat dimana sekarang saya masih bekerja. Mungkin teori ini tidak akan sama dan selaras ke semua orang, apalagi ke semua pebisnis atau pengusaha. Tapi ya entahlah, rasanya kok saya itu ya jalannya memang harus melalui proses pembelajaran dulu di perusahaan yang sedang dibangun ini. Karena suatu saat pun, kelak saya ingin membesarkan eclectiQue dengan experience penuh yang sudah saya dapatkan di perusahaan ini. Saya belum mengerti tata cara membaca laporan keuangan, apa itu cash flow, apa itu branding. Konsep bisnis yang sama-sama ‘B to C’ inilah yang kemudian tetap membuat saya bertahan untuk…………………………..ya belajar. Alasan apa lagi?

Jadi ya bersabar lah…

Published by Rahmi Aulia

I write louder than speak. Am a ENFJ kinda HR practitioner who love crafting parenthood and motherhood moments in my blog.

Leave a comment